27.5.11

PROBLEMATIKA PENGAJARAN SASTRA DI SEKOLAH


PROBLEMATIKA PENGAJARAN  SASTRA DI SEKOLAH
OLEH : IDAH FARIDAH LAILY, M.Pd


Abstrak

Di tengah ramainya tuntutan guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka, , sudahkah mereka itu berkontemplasi.Maksudnya adalah merenungi atas hal yang telah mereka perbuat dalam dunia pendidikan, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang diajarkan di tiap jenjang pendidikan di Indonesia. Karya sastra dianggap sebagai hasil proses kreatif pengarang. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan angan-angan merupakan ’dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ’dunia luar’ pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memehami keadaan jiwa pengarang atau sebaliknya. Apresiasi sastra merupakan interpretasi yang benar terhadap karya sastra. Karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan nyata sebagai hasil renungan dari realita kehidupan yang dilihat. Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu. Apalagi pembacanya adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak. Sebagai karya sastra tentulah berusaha menyampaikan nila-inilai kemanusiaan, mempertahankan, serta menyebarluaskannya termasuk kepada anak-anak Pengembangan kemampuan bersastra siswa sekolah dasar, meliputi berbagai jenis dan bentuk sastra anak dengan melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Mengapresiasi perlu pergaulan langsung dengan karya sastra yang diapresiasi, agar terlatih dan terbina untuk menyenangi dan menghayati karya sastra. Pembelajaran yang hanya bersifat teoritik tak akan dapat diharapkan lahir para siswa yang mampu mengapresiasi dan memiliki minat yang baik pada karya sastra.Disekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasikan sastra berkaiatan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal serta kepekaan sosial. Pengembangan kemampuan bersastra disekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Kata kunci
Problematika, pengajaran sastra,






Pendahuluan
Kemampuan bersastra bukan menghafal sastra, tetapi pergaulan langsung dengan karya sastra melalui aktivitas jiwa dengan kegiatan mengapresiasi dan berekspresi sastra, sehingga siswa dapat merasakan kehadiran pelaku, peristiwa, suasana dan gambaran objek secara imajinatif. Kegiatan apresiasi sastra mencakup tanggapan emosional pada isi cerita, tanggapan pada pelaku atau peristiwa dan perasaan siswa dalam merasakan atau menikamati gaya bahasa pengarang cerita.
Pengajaran sastra mencakup ketiga genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.
Guru sebagai salah satu komponen utama dalam kegiatan belajar mengajar, hendaknya bersikap profesional di bidangnya begitu pula dalam pengajaran sastra. Selain menguasai pengetahuan tentang sastra, ia juga harus memiliki apresiasi dan keterampilan yang baik serta kecintaan terhadap karya sastra. Jika ia menghargai dan mempercayai pentingnya bidang yang ia tekuni maka ia akan “berdakwah” kepada siswa dengan rasa percaya diri (Sumarjo, 1995 : 39).
Ketidaktercapaian pengajaran sastra di persekolahan diidentifikasikan disebabkan oleh beberapa faktor (H. E Suryatin, 1992 : 52-53), yaitu faktor guru, siswa dan sarana. Khusus mengenai faktor guru, H. E Suryatin, mengidentifikasikan empat hal yang diduga keras menjadi penyebabnya, yaitu : 1) rendahnya minat baca guru terhadap karya sastra, 2) kurangnya guru belajar teori sastra, 3) kurangnya guru mengapresiasikan karya sastra serta, 4) guru dihadapkan luasnya cakupan materi kurikulum yang harus disampaikan padahal porsi waktu yang tersedia untuk bahasan sastra sangat terbatas.
Selain faktor-faktor yang sifatnya internal, menurut Taufik Ismail (2003 : 9), hal lain yang turut memperparah kemerosotan pengajaran sastra dalam hampir kurun waktu 60 tahun ini, diakibatkan hidup suburnya paradigma “pengunggulan berlebih kepada jurusan eksakta, dalam dunia pendidikan kita”. Akibat adanya pandangan tersebut maka tidak heran jika sastra akhirnya dipandang sebelah mata saja dalam konteks pendidikan di negeri ini.
Pengajaran sastra tidak hanya mempunyai aspek-aspek  teori, latihan dan praktik, tetapi juga mempunyai nilai pembentukan watak dan sikap disamping  itu juga adanya unsur-unsur kesenangan dan kenikmatan artistik.
Tujuan Pembelajaran Sastra di Sekolah
Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasikan sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal serta kepekaan sosial. Pengembangan kemampuan bersastra disekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Huck dkk. (1987 ; 630-632) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan, yakni, pencarian kesenangan pada buku, menginterprestasikan bacaan sastra, mengembangkan kesadaran bersastra, mengembangkan apresiasi
Pada waktu pembelajaran sastra, siswa diberi kesempatan memahami, menikmati dan sekaligus merespon apa yang telah mereka baca dan cara-cara yang menarik minat mereka. Pada waktu membaca, siswa belajar tentang orang lain, tentang mereka sendiri, gan kehidupannya. Siswa sering menemukan pengalaman yang mirip san seolah-olah dialaminya sendiri berkaitan dengan kesenangan, kesedihan, ketakutan, disamping itu siswa juga memperoleh wawasan pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan dunia mereka sendiri.
Interaksi langsung dengan karya satra sangat penting karena pada waktu pembaca berhadapan teks sastra, pembaca adalah pemberi makna. Pembaca yang berbeda akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda yang berbeda pula, sehingga tanggapan orang yang satu dengan yang lain tidak akan sama. Akibat dari perbedaan pengalaman dan pemaknaan terhadap bacaan, makna yang diperoleh dan diberikan siswa dalam mengapresiasikan sastara haruslah merupakan transaksi antara aktifitas jiwa siswa dengan kata-kata yang terangkai dalam cerita. Makna itu diciptakan dan dibentuk oleh siswa sendiri, bukan yang ditawarkan guru atau penulis buku. Guru dalam kegiatan apresiasi bukan penerjemah atau penafsir karya sastra untuk siswanya melainkan hanyalah sebagai pendorong dan pemberi rangsangan. Menurut Amiruddin (1997;207) ada dua tugas guru dalam kegiatan apresiasi yaitu, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman siswa dan membimbing cara berfikir pada waktu apresiasi
Puja (2008) mengungkapkan, latihan yang dapat dilakukan sejak dini adalah membiasakan anak untuk (a) memiliki buku harian, (b) latihan mengungkapkan gagasan secara tertulis, dan  (c) mencatat hal-hal penting yang ditemukan.
Ali (2007) mengatakan, mengajarkan apresiasi sastra tidak hanya dengan menyediakan dan menugasi siswa membaca karya sastra, tetapi dapat juga mengasah kemampuan siswa untuk menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemilihan metode/teknik menuangkan ide sangatlah penting untuk memacu kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam menciptakan karya sastra.
Pembelajaran apresiasi prosa di SD tidak terlepas dari tujuan pembelajaran apresiasi sastra. Menurut Huck, dkk. (1987: 704-707), menyatakan pembelajaran sastra di SD harus memberikan pengalaman pada siswa yang berkonstribusi pada 4 tujuan, yakni : (1) pencarian kesenangan pada buku (discovering delight in book), (2) menginterpretasi bacaan sastra (interpreting literature), (3) mengembangkan kesadaran bersastra (literary awarness), dan mengembangkan apresiasi (developing appreciation).

a.       menumbuhkan kesenangan terhadap buku
Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan sastra serta masuk dan terlibat dalam suatu buku. Salah satu cara terbaik untuk membuat siswa tertarik pada buku menurut Huck(1987) ialah :
1.memberi siswa lingkungan yang kaya dengan buku-buku yang baik
2.memberi siswa waktu untul membaca atau secara teratur guru membacakan buku untuk mereka
3.memperkenalkan pada siswa berbagai ragam bacaan prosa, puisi.
4.memberi siswa waktu untuk membicarakan buku-buku, menceritakan buku itu satu sama lain dan mengiterprestasikan melalui berbagai macam aktifitas respon aktif.
5.Siswa diberikan kesempatan mengamati atau melihat orang-orang dewasa menikmati buku.
b.    Mengapreasiasikan Literature
Untuk menciptakan letertarikan terhadap buku, siswa perlu membaca banyak buku. Siswa pun perlu memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang mendalam dengan buku-buku. Ketika siswa menghubungkan apa yang mereka baca itu dengan latar belakang pengalamannya, mereka menginternalisasikan makna cerita itu. Cara untuk membantu siswa menginterprestasikan bacaan itu dengan cara mengidentifikasi para pelaku yang ada pada cerita itu. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mendramatisasikan adegan tertentu yang ada pada buku cerita. Kegiatan daramatisasi selain mengatkan pemahaman pada cerita juga aan melatih mereka bersosialisasi.
c.     Mengembangkan kesadaran bersastra
Anak-anak yang masih berada disekolah dasar juga garus diajak mulai mengembangkan kesadaran pada sastra. Anak-anak harus diarahkan pula menemukan elemen-elemen sastra secara berangsur-angsur, karena elemen-elemen itu memberikan bekal kepada siswa dalam pemahaman makna cerita atau puisi. Dengan demikian guru garus menguasai pengetahuan tentang bentuk-bentuk cerita, elemen-elemen cerita dan pengetahuan tentang pengarang.
a.          Mengembangkan apresiasi
Sasaran jangka panjang pengajaran SD ialah mengembangkan kesukaan membaca karya sastra yang bernutu. Menurut Margaret Early (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap urutan dan perkembangan yang ada dalam pertumbuhan apresiasi

1.tahap kenikmatan yang tidak sadar
2.tahap apresiasi yang masih ragu-ragu atau berada antara tahap satu dan ketiga
3.tahap kegembiraan secara sadar
Tahap pertama sama dengan gagasan menumbuhkan kesenanagn membaca. Tahap ketiga tahap yang sudah matang dan menemukan kegembiraan dalam banyak jenis bacaan dari banyak periode waktu, memberikan penghargaan pada aliran dan pengarangnya dan memberikan tanggapan kritis sehingga mendapat kegembiraan secara sadar. Pengajaran sastra untuk sekolah dasar terutama kelas-kelas awal, difokuskan pada tahap yang pertama yaitu kesenangan yang tidak disadari. Guru hanyalah pemberi jalan setapak untuk masuk ke dunia indahnya sastra.
S. Efendi (dalam Aminudin, 2002 : 15) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan yang baik terhadap cipta sastra.
Rusyana (1979 : 12) dalam tulisannya mengatakan bahwa, apresiasi sastra sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya  sastra kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Dalam hal mengapresiasi sastra sesorang mengalami (dari hasil sastra itu) pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan untuk bergaul dan upaya memahami karya sastra,  sehingga akan menumbuhkan rasa nilai-nilai seni  yang terkandung dalam karya sastra sehingga dapat menimbulkan kepuasan batin bagi penciptanya.
 Problematikan Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar
Dalam pengajaran sastra itu, terdapat beberapa problematika yang harus segera diatasi oleh guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal itu kita pandang perlu, karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, siswa pun kurang cerdas dalam hal bersastra. Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan sastra. Lebih dari itu, kita menginginkan outcome yang bagus. Contoh, proses belajar-mengajar terjadi dan akhirnya siswa memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan bahwa contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita menginginkan siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat memproduksi karya sastra sebagai outcome dalam pengajaran sastra di sekolah.
Selama ini, pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal. Misalnya, ketika siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan dengan alam. Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Padahal di ruang tertutup dinding kelas, kurang mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi dan kreasi mereka dalam proses penciptaan puisi.
Itu merupakan salah satu problematika dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya, guru mengajak siswa keluar, ke alam terbuka dan membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.
 Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik yakni internet dan radio. Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik. Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Indonesia kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan Indonesia. Padahal, biodata dan karya sastrawan Indonesia merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah.
Selama ini, pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal. Misalnya, ketika siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan dengan alam. Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Padahal di ruang tertutup dinding kelas, kurang mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi dan kreasi mereka dalam proses penciptaan puisi.
Itu merupakan salah satu problematika dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya, guru mengajak siswa keluar, ke alam terbuka dan membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.
Ada beberapa hal yang melatari terpinggirkannya pengajaran sastra. Pertama, persentase pengajaran sastra pada kurikulum kita kecil sekali dibandingkan mata pelajaran lain. Pengajaran sastra di SD boleh dibilang hanya sebagai pelengkap. Di kelas 4, misalnya, pengajaran sastra hanya ada di semester 2, itu pun dengan porsi kecil. Jumlah jam pengajaran bahasa dan sastra juga lebih sedikit dibandingkan mata pelajaran lain.
Kedua, kebanyakan pengajar hanya mengajarkan sastra sebatas teori dan hafalan, tidak menekankan pada apresiasi. Boleh jadi, itu disebabkan guru kurang memiliki kemampuan dan apresiasi di bidang sastra. Karena pengajarannya kurang menarik, siswa jadi tak tertarik.
Ketiga, kurangnya bahan bacaan sastra. Bagi sekolah yang memiliki perpustakaan memadai, ketersediaan buku bacaan sangat mencukupi. Sehingga, siswa dapat membaca beragam buku sastra. Namun, sebagian besar sekolah belum memiliki perpustakaan yang baik. Itu diperparah rendahnya minat baca.
Keempat, penghargaan terhadap karya sastra merupakan pengakuan bahwa sastra setara dengan ilmu lain. Di negara maju, penghargaan terhadap karya sastra dan sastrawan jauh lebih baik. Bahkan, saat pelantikan salah satu presiden Amerika Serikat, pernah ditampilkan pembacaan puisi. Karena itu, buku sastra berkembang pesat. J.K. Rowling, penulis Harry Potter, juga menjadi salah satu orang terkaya di Inggris.
Di Indonesia, pengakuan terhadap karya sastra mulai menunjukkan peningkatan. Salah satunya adalah fenomena Laskar Pelangi. Penulis novel itu menerima royalti tak kurang dari Rp 4,5 miliar (Edi S. Mulyanta, 24/11).
Karena itu, langkah pemerintah mengadakan olimpiade sastra tingkat SD sebagai penghargaan terhadap siswa yang mendalami satra perlu didukung. Sebagai bagian dari elemen pendidikan, kita perlu mengupayakan agar wajah pendidikan tak lagi berpihak pada mata ajar tertentu. Sehingga, kita bisa menerima talenta siswa sebagai kelebihan yang sama. Dwi Indriyanti (2009)
Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik yakni internet dan radio.
Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Berbicara soal pengajaran sastra di sekolah maka tujuan yang harus dicapai adalah siswa mampu menikmati, menghayati, memamahi, dan memanfaatkan karya sastra; untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkat-kan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Di samping itu, secara khusus, siswa menguasai dan membedakan antara karya sastra berbentuk prosa, naskah drama, dan puisi. (B.Rahmanto,2000:654).
Berangkat dari persoalan ini, maka pengajaran sastra Indonesia bertujuan sangat mulia, dan sangatlah penting bagi para siswa. Persoalannya sekarang bahwa pengajaran sastra Indonesia di sekolah, berada (atau dimasukkan) dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga, kemungkinan besar, pelajaran sastra tidak begitu banyak diajarkan kepada siswa, karena lebih menekankan pelajaran tata bahasa. Lebih lagi, apabila gurunya tidak suka akan sastra maka pelajaran sastra akan dilewatinya. Dan hal ini adalah persoalan yang sangat disayangkan oleh pemerhati sastra.
Kini, saatnya guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal itu guna kemajuan sastra dalam jenjang pendidikan kita khususnya dalam jenjang pendidikan dasar. Bagaimana menurut Anda?


REFERENSI
Ali, Mahmud, Jauhari. 2008. Prolematika Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar. Tersedia di www. Sastra-indonesia.com.

Alwi, Hasan dkk. 2000. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa (Depdiknas)

Ellis, A., Pumau, J., Standal T. 1989. Elementary Language Arts Instructions. New Jersey: Prentice Hall

Hurlock, Elizabeth. 1980. Developmental Psycology. New York: Mc Graw-Hill, inc.

Iskandarwasid dan  Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung. Rosdakarya.

Nurhayati, Mira. 2008. Konferensi Internasional Kesustraan XIX. Batu

Rahmanto. B. 2000. Pengajaran Sastra. Tersedia di www.sastra –indonesia.com.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung. Gunung Larang.
Wahidin. 2009. Mengembangkan Kemampuan Bersastra Sekolah Dasar. Tersedia di makalahkumakalahmu.wordpress.com/.../mengembangkan-kemampuan-bersastra-siswa-sd

No comments:

Post a Comment

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam