8.6.11

KEGAGALAN

Menghargai Kegagalan
Banyak orang yang tak bisa menerima kegagalan dengan lapang dada. Kegagalan membuat mereka frustasi, jatuh harga diri,dan bahkan kehilangan harapan di masa depan.
Padahal yang namanya kegagalan dalam bidang apapun, seperti kata orang bijak, adalah bagian dari kehidupan, bahkan bagian dari keberhasilan itu sendiri. Dengan begitu, kegagalan bukanlah perbuatn dosa,bukan pula aib selama kita telah berusaha sebaik mungkin untuk melakukan pekerjaan itu. Bahkan kalaupun dulu kita pernah berbuat lengah dan lalai sehingga gagal,kita mempunyai kesempatan lagi untuk menebus kekagalan tersebut.

Dan itulah yang dilakukan oleh ribuan orang sukses diberbagai belahan bumi ini. Salah satu dari mereka yang pandai belajar dari kegagalan itu, bisa disebut Art Mortell, presiden direktur Systematical Archievment, sebuah perusahaan konsultan yang berkedudukan di Malibu, California, Amerika Serikat. Begitu lulus dari bangku kuliah, ia mengincar pekerjaan di IBM. Ternyatalamarannya ditolak. Namun ia tak putus asa. Pada bebrapa tahun berikutnya, ia menyiapkan diri dengan lebih baik, termasuk memburu gelar S-2.
Baru pada saat melamar yang keempat kalinya,ia diterima. Kini selain jabatannya sebagai presdir, ia juga berceramah di berbagai perusahaan besar paling inovatif di AS. Beberapa bukunya seperti World Class Selling dan The Courage to Fail, sangat dipuji orang. Bukunya yang terakhir itu telah diindonesiakan menjadi Berani Menghadapi Kegagalan.

Sejarah kehidupan Nabi Muhammad S A W sendiri, juga tidak sepi dari kegagalan. Pada awal menyerukan Islam, beliau pernah berdakwah ke kota Thaif.Di kota tersebut,dakwah beliau bukannya disambut hangat, tapi malah dimusuhi, dan bahkan ditimpuki oleh warga setempat, hingga wajah dan beberapa bagian tubuh beliau berdarah.

Selama 13 tahun Nabi Muhammad S A W berdakwah di Mekkah, bisa dikatakan hasilnya minim. Namun Beliau tidak pernah berputus asa. Nabi Muhammad S A W kemudian hijrah ke Madinah. Ditanah rantau itu, barulah beliau berhasil membina umat yang takwa. Beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke kampung halaman untuk merebut kemenangan yang gemilang.

Dalam Al Qur'an banyak ayat yang memerintahkan kita agar tidak cepat putus asa menghadapi kegagalan diantaranya "Sesunggunya dibalik setiap kesukaran ada kemudahan" Q.S Al Insyirah 5-6.

Sesungguhnya hidup itu merupakan rentetan pergaulan antara kegagalan dan keberhasilan. Ketika bayi dan baru dapat terlentang, belajar miring, kemudian tengkurap, duduk, merangkak, berjalan, berlari, dan seterusnya. Bukanlah dari satu tahap ketahap lainnya harus berkali-kali gagal dan jatuh? tapi toh naluri kita mengatakan coba terus dan coba terus.

sumber : Republika - 30 Juni 1995

Nilai sebuah kegagalan

Salam ceria dan salam perkongsian untuk semua, semoga hari ini lebih bermakna dan mengundang seribu memori buat kita semua.
KEGAGALAN ! Saya pasti ramai di antara kita yang fobia dengan perkataan tersebut. Rasa saya tiada siapa pun di antara kita yang menginginkannya. Maka tidak hairanlah bila ramai di antara kita yang berfikir bahawa kekagagalan itu adalah suatu yang buruk atau lebih dahsyat lagi kegagalan adalah suatu malapetaka, betulkah begitu ?
Sepintas lalu mungkin betul tapi bila difikir dari pelbagai sudut, kegagalan bukan bermakna dan selamanya menjadi malapetaka.
Kita mungkin pernah mendengar orang berkata, setiap yang berlaku pasti ada hikmah dan cerita disebaliknya. Mungkin kerana sebuah kegagalan ALLAH ingin mengingatkan kita sesungguhnya kapasiti kita belum cukup untuk menerima sebuah kejayaan. Mungkin juga ALLAH ingin kita tahu dan menunjukkan kepada kita sesungguhnya banyak perkara yang harus dan perlu dipelajari untuk menggelakkan kita terjatuh lebih dalam lagi.
Perlu selalu kita ingat, sesungguhnya ALLAH tidak akan menguji kita diluar batas kemampuan para hambaNYA, oleh yang demikian kesuksesan atau kejayaan yang kita terima akan selalu sesuai dengan kapasiti diri kita. Jika kita menerima kesuksesan di luar kapasiti diri, dikhuatiri mungkin kita akan jatuh lebih dalam dan gagal lebih parah.
Untuk itu kita tidak perlu memandang serong yang amat sangat pada sebuah kegagalan, apa yang perlu kita fikir dan fokuskan adalah bagaimana caranya agar kita boleh berkembang secara peribadi untuk layak menjadi orang yang betul-betul suksess sehingga kejayaan kita mampu bertahan lama dan semakin berkembang dari masa ke semasa.
Akhir kata dari saya, Kecurangan adalah seperti asap, terbang berkepul dan mampu dilihat dengan jelas namun sayang ianya cuma sekejap lalu menghilang. Sementara kebenaran sekalipun terkadang lambat, namun ia terus bergerak naik, semakin terang bagaikan siang dan terlihat.

Hargailah Kegagalan!

Dimana pun dan kapan pun, setiap orang pernah gagal. Tidak terkecuali presiden atau konglomerat sekalipun. Karena setiap usaha manusia yang dilakukan tidak langsung mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Bill Gates konglomerat komputer mengawali usahanya tidak langsung seperti yang kita lihat saat ini. Setiap manusia memang berusaha dan terus berusaha untuk mencapai sasarannya. Tapi dalam perjalanan tidak semuanya melanjutkan perjalanannya.

Karena tidak sedikit yang putus asa. Putus asa adalah orang yang berhenti di tengah perjalanan untuk mencapai tujuan. Merasa bahwa memang tidak mampu, terlalu berat, terlalu sulit untuk dicapai. Selain itu juga karena tidak mau berusaha lagi. Prinsip yang dipegang, coba-gagal-berhenti. Akibat yang ditimbulkan adalah trauma.

Beberapa orang yang gagal mengalami trauma berusaha. Trauma sudah tidak mau mencoba mengulangi lagi. Seakan-akan gagal adalah akhir dari kehidupan. Pemikiran semacam itu tidak lepas dari penilaian masyarakat seorang yang gagal berarti tidak sukses. Sekali gagal selamanya gagal. Inilah pola pikir yang sangat tidak membangun tetapi malah mematikan semangat untuk hidup.

Patutlah dimengertikan dan dipahami bahwa keberhasilan, kesuksesan bukanlah sekedar dapat mencapaian cita-cita, harapan, keinginan tetapi kita mencapai kesuksesan bila berani menghargai kegagalan. Kita bersedia melihat segala perih payah yang telah kita perbuat untuk mencapai cita-cita, harapan dan keinginan.

Menghargai kegagalan: jika kita menghormati usaha, tetesan keringat, waktu, pikiran, keteguhan hati maka kita benar-benar memaknai sekecil apa pun usaha dalam rangka pencapaian cita-cita, harapan, keinginan. Dengan memaknai setiap usaha akan tetap melekat dalam diri kita sebagai modal yang tidak ternilai.

Menghargai kegagalan juga berarti mengakui setiap langkah sesederhanapun merupakan usaha maksimal yang dapat diperbuat. Tindakkan yang kita perbuat benar-benar dilakukan dengan kesungguhanhati, tidak main-main, atau hanya sekedar iseng saja. Bertindak dengan kesungguhanhati membawa orang pada mampu merasakan kenikmatan usaha kita.

Menghargai kegagalan kita menikmati saat-saat berproses menuju harapan, cita-cita, dengan penuh liku-likunya, pahit getir. Bahkan berada pada persimpangan jalan antara diteruskan atau berhenti di tengah jalan. Kenikmatan ketika seseorang pada titik dilema itulah hal yang paling nikmat. Kita masuk dalam suatu pusaran angin yang sangat kencang.

Dengan angin yang sangat kencang membuat kita terdiam untuk merasakan angin kebimbangan yang sangat luar biasa. Begitu nikmatanya merasakan pusaran angin sampailah pada titik angin itu sudah tidak terasa lagi. Dan perjalanan mencapai tujuan dilanjutan.

Seseorang menghargai kegagalan, orang itu mensyukuri diberi kesempatan dan kemampuan untuk terlibat dalam berproses menuju cita-cita, harapan. Dengan mensyukuri keterlibatan kita berarti kita sudah meletakkan batu pondasi untuk mencapai kesuksesan.

Hanya melalui kita berani menghargai kegagalan, kita menerima medali emas keberhasilan. Keberanian itulah yang mempersiapan diri kita untuk menerima keberhasilan-keberhasilan berikutnya.

Karena bagi Allah tidak ada kegagalan dari segala usaha dan jerih payah manusia yang tidak dilandasi dengan ucapan syukur. Dengan syukur kita berdoa dan Allah mempersiapakan dan memproses diri kita untuk sampai pada cita-cita, harapan yang jauh lebih mulia menurut kehendakNya.
Malang, 09 Oktober 2003
29

Ketidakadilan dalam Pendidikan

Kritik bertubi-tubi itu sepertinya tidak mempan. Putusan pengadilan yang memenangkan tuntutan korban ujian nasional, protes guru, demo pelajar menolak UN, dan efek samping UN rupanya tidak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan.
Lebih dari itu, pemerintah sebagai wakil rakyat bersikukuh melaksanakan UN etika kewarganegaraannya dipertanyakan sebab kebijakan itu melanggengkan praksis ketidakadilan dan melestarikan kebijakan pendidikan yang cacat secara moral.
Kegagalan dalam UN berarti tinggal kelas, mengulang setahun, atau penundaan masuk perguruan tinggi karena harus mengikuti ujian persamaan; ini memastikan setiap siswa telah memiliki kesempatan belajar yang sama dan mampu membuktikan apa yang dipelajari merupakan tolok ukur pasti.
Kesempatan belajar
Gagasan persamaan kesempatan belajar terkait ide akuntabilitas pendidikan. Akuntabilitas pendidikan bertujuan menilai dan memastikan, para siswa telah mengalami proses belajar secara adekuat sehingga mampu mengerjakan ujian standar. Premis dasar akuntabilitas pendidikan adalah jika semua siswa wajib mencapai patokan standar yang sama, mereka harus mendapat kesempatan belajar yang sama.
Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan belajar memberi metode pengajaran berkualitas, materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.
UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa jelas akan memengaruhi kehidupan individu siswa. Karena UN memiliki dampak besar terhadap individu, ia harus memenuhi standar kelayakan evaluasi yang menghargai hak-hak individu.
Standar ini mensyaratkan adanya orientasi pelayanan, dengan evaluasi didesain sedemikian rupa sehingga membantu organisasi atau individu agar dapat melayani kepentingan peserta yang tercakup dalam target evaluasi, menjaga agar evaluasi dilakukan secara sah/legal, memenuhi standar moral, menghormati kesejahteraan mereka yang terlibat dalam evaluasi. Untuk menjaga kepentingan individu yang terlibat, evaluasi semestinya didesain agar melindungi hak-hak dan memberi kesejahteraan kepada individu itu.
Evaluasi pendidikan harus ada. Namun, UN yang tidak menjaga kepentingan dan memberi kesejahteraan kepada individu yang terlibat perlu dipertimbangkan ulang. Saat negara mengharuskan setiap siswa lulus UN (jika gagal akan mengalami penghinaan publik, dicap bodoh), tetapi gagal menyediakan kesempatan belajar yang sama bagi siswa, kebijakan seperti ini hanya melestarikan tumbal-tumbal UN, tidak memberi kesejahteraan kepada individu, sebaliknya justru menghina individu di depan publik secara berkelanjutan. Karena itu, kebijakan pendidikan seperti ini tidak memiliki kredibilitas moral.
Ketidakadilan tingkat dasar
Perbedaan sarana dan prasarana pendidikan di kota besar, di pedesaan, dan daerah terpencil amat mencolok. Kita lihat anak-anak belajar di ruang kelas seperti kandang ayam atau di bangunan yang hampir roboh. Tidak nyaman. Belum lagi perbedaan kualitas guru yang memengaruhi cara menyampaikan materi. Persoalan ketakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar telah ada di tingkat dasar.
Dengan ketimpangan kesempatan belajar seperti ini, apakah pemerintah (pusat atau daerah) bisa menjamin pelecehan dan penghinaan publik atas individu tidak terjadi dengan memaksakan UN?
Jika kesempatan belajar yang sama itu telah ada dan siswa secara faktual menunjukkan telah belajar, tidak akan ada siswa yang tidak lulus. Namun, apa faktanya? Dalam setiap UN masih banyak siswa tidak lulus. Mereka tidak lulus karena lingkungan sosial dan sekolah tidak memberi kesempatan belajar yang sama.
Di balik agenda ujian
Logika baik di balik agenda ujian dan akuntabilitas pendidikan adalah setiap anak dapat kesempatan belajar yang sama, terbukti dengan praksis pengalaman belajar itu sendiri. Logika ini menuntut negara memberi layanan pendidikan berkualitas.
Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk memberi kesempatan belajar, terutama terhadap mereka yang tidak memiliki akses belajar. Tanpa perubahan kualitas layanan pendidikan, anak-anak miskin yang bersekolah di sekolah miskin akan tersingkirkan. Mereka terancam tidak lulus secara berkelanjutan dan penghinaan publik yang diterimanya akan semakin besar.
Tidak mengherankan jika anak-anak yang tidak lulus UN ada yang memilih tidak mengulang, putus sekolah, karena tidak ingin martabatnya diinjak-injak dua kali. Jika ini terjadi terhadap siswa SD, kebijakan pendidikan kita benar-benar immoral sebab secara sengaja membiarkan anak-anak ini diinjak-injak martabatnya dan hancur masa depannya.
Melaksanakan kebijakan UN, apa pun bentuknya, dan memaksa anak untuk lulus, tetapi pemerintah gagal menyediakan akses dan kesempatan pendidikan yang sama merupakan kebijakan politik yang melanggar keadilan sosial. Lebih dari itu, membiarkan anak didik mengalami penghinaan publik berkelanjutan karena dipaksa gagal merupakan kebijakan politik pendidikan yang immoral dan tidak bertanggung jawab.

UN dan Dekadensi Moral

15 April, 2011
Oleh Muslim Basyar
Dosen Universitas Muhammadiyah Lampung, mahasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Upaya membangun karakter bangsa dan kehidupan yang demokratis di negeri ini mestilah dimulai dengan memperbincangkan dunia pendidikan. Sebab, dalam konsep negara demokrasi, pendidikan menjadi tolak ukur untuk melihat apakah rakyat benar-benar sejahtera dalam pemikiran.
Mengubah cara berpikir manusia menjadi lebih positif dan ideal, merupakan dasar gerakan dalam dunia pendidikan. Karena nalar berpikir akan mengarahkan seseorang untuk bertindak. Jika sistem berpikir tidak baik, meski seseorang berpendidikan tinggi, tetap berpeluang melakukan tindak kejahatan yang terstruktur. Buktinya, kebejatan moral yang dilakukan pejabat publik kita dalam wujud korupsi, penjarahan hutan, dan menggusur rumah rakyat miskin masih tetap saja berlangsung. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam sistem berpikir mereka.
Begitu juga dalam proses pendidikan. Peserta didik kita ternyata belum mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Beragam perilaku menyimpang, seperti pemakaian narkoba, seks bebas, dan tawuran antarpelajar telah menjadi identitas yang melekat kuat pada siswa di sekolah.
Sudah sekian lama dunia pendidikan kita menghadapi dilema besar dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada setiap individu yang ada di dalamnya. Di satu sisi, sebagian besar guru terus menuntut para siswa untuk hidup baik, jujur, bertanggung jawab, dan saling menghargai antarsesama. Namun, di sisi lain, cukup banyak pula dari guru kita yang mengajarkan tidak baik: membiarkan siswa mengembangkan keahlian mencontek dan memelihara budaya kekerasan dalam proses pembelajaran.
Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan tetap diberlakukannya ujian nasional (UN). Sebab, dengan adanya UN, bacaan wajib yang mesti dikonsumsi peserta didik menjadi seragam. Akhirnya, ruang-ruang kritis dalam dunia pendidikan menjadi tertutup rapat. Karena ilmu yang diajarkan telah diasumsikan mencapai titik klimaks. Padahal, proses pencarian ilmu pengetahuan tiap saat bisa berubah sesuai dengan dinamika zaman.
Kemudian, realitas yang kini mengemuka: ketika sudah mendekati pelaksaan UN, sekolah-sekolah yang ada acap memadatkan proses pembelajarannya (baca: menambah jam pelajaran) hingga sore hari. Ujung-ujungnya, siswa menjadi kelelahan hingga menganggap UN sebagai momok yang sangat menakutkan.
Namun anehnya, dari pengalaman yang ada, kecurangan dalam pelaksanaan UN masih saja terjadi, baik guru yang memberikan “bocoran” atau memanipulasi data maupun siswa yang tak jujur dalam mengisi soal ujian. Jadi, pemadatan jam pelajaran itu sebenarnya tidak menuai sesuatu yang berarti, selain hanya kelelahan dan kegelisahan dalam menghadapi UN.
Jika diteliti lebih dalam, sebenarnya kegagalan (untuk tidak mengatakan kebobrokan!) dalam pelaksanaan UN, salah satunya bermuara pada tidak kompetennya guru. Sebab, jika guru tidak memiliki kompetensi yang mapan, materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa menjadi tidak sempurna hingga harus menambah waktu dalam belajar. Padahal, pemadatan materi itu pada hakikatnya telah merenggut hak privasi siswa untuk melepas lelah dan menenangkan diri.
Wajar saja jika banyak kalangan berpandangan bahwa pelbagai macam proses yang ada dalam dunia pendidikan kita saat ini, khususnya UN, masih mengarah pada hasil apa yang akan dicapai; bukan berfokus pada proses apa yang akan dilakukan. Efeknya, ruang-ruang untuk berdialektika menjadi mampat. Jika siswa bertanya, mendedah sebuah teori, atau memiliki kerangka berpikir lain, akan dianggap salah.
Terlebih lagi, model yang dipakai juga hanya menguji kemampuan menghafal fakta dan kemampuan berpikir tanpa analisis yang kritis. Sementara berbagai persoalan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir dengan daya analisis tinggi, keterampilan memecahkan masalah, dan kemampuan mendesain.
Mereka tidak dididik menjadi intelektual atau konseptor yang kreatif dan terampil untuk setiap saat melakukan telaah akan beragam masalah yang tengah mengimpit masyarakat bawah. Melainkan diukir menjadi robot yang patuh terhadap pelbagai keputusan yang datang dari penguasa.
Bersandar pada diskursus cukup panjang di atas, maka sistem pendidikan kita mesti segera dibenahi. Menurut penulis, sudah saatnya guru-guru di sekolah memosisikan diri mereka tidak hanya sebagai pendidikan dan pengajar, tapi juga sebagai teman yang bisa diajak bergaul dan berdiskusi dengan terbuka. Dengan pola ini, guru bisa menyelipkan nilai-nilai moralitas kepada siswa dalam setiap mata pelajaran, bahkan setiap saat.
Alhasil, dalam proses pembelajaran, sekolah pun mestinya tidak lagi mengistimewakan siswa berprestasi atau yang memiliki jenis inteligensia tertentu. Sebab, hal ini bisa menyebabkan siswa yang memiliki inteligensi lain menganggap bahwa mereka tidak diperhatikan, atau bahkan dianggap tidak “berguna”. Seharusnya, semua siswa diperlakukan sama dengan cara melakukan pembauran antara yang dianggap cerdas dan yang tidak. Karena setiap siswa, sesungguhnya memiliki kecerdasan yang berbeda. (Sumber: Lampung Post, 15 April 2011)ariandi8kiya

No comments:

Post a Comment

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam